Demokrasi VS Hompimpa

Bangsa Indonesia terlalu banyak buang-buang uang untuk membiayai apa yang mereka sebut 'pesta demokrasi'. Betapa tidak, untuk sekedar maju menjadi calon kepala desa, uang ratusan bahkan milyaran rupiah harus dikeluarkan. Ada banyak pihak yang harus diberi uang, agar pencalonan berjalan mulus. Apalagi untuk jabatan yang lebih tinggi, seperti bupati, gubernur, anggota DPR/DPRD di masing-masing level.

Sementara hasilnya nyaris tipikal, tidak ada yang benar-benar bisa mengubah kesejahteraan rakyat. Hanya janji-janji manis waktu kampanye dan ujung-ujungnya dusta dan omong besar. Nyatanya sejak dulu sampai hari ini, rakyat tetap saja miskin dan tidak boleh menikmati setetes kesejahteraan.

Kalau cuma sekedar bergonta-ganti siapa yang menjabat sementara rakyat tetap melarat, sebenarnya buat apa serentetan 'pesta demokrasi' itu? Dan buat apa uang segitu banyak harus dihambur-hamburkan?

Seorang komedian di TV -tentu sambil bercanda- sempat melancarkan ide nakal : Mengapa tidak kita serahkan saja urusan siapa yang mempimpin negeri ini pada kehendak Tuhan? Biar Tuhan lah yang menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin. Selain mudah, cara ini juga jauh lebih murah.

Kok mudah dan murah?

Ya, karena para calon pemimpin itu tidak usah keluar uang untuk kampanye, cetak spanduk, kaos, mug, biaya karnaval, hiburan panggung, fee artis. Orang baik-baik juga tidak perlu merampok anggaran wisma atlet untuk biaya minta dukungan dan uang 'serangan fajar'. Para ustadz juga tidak perlu melawan hati nuraninya sendiri dengan makan duit haram dan duit abu-abu ketika DIPERINTAH untuk mentaati pimpinannya akan hal yang semua orang tahu bahwa itu HARAM. Semua tidak dibutuhkan.

Para calon yang ikut bursa pilkada, pemilu atau apapun namanya, cukup berkumpul membentuk lingkaran, semua menjulurkan tangan lalu 'gambreng' sambil mulutnya bilang : hooom pim paaaa. Nah, siapa yang menang, ya itulah yang jadi pimpinan. Bukankah itu kehendak Tuhan juga? Gampang kan?

Saya tentu saja tertawa dengan joke itu. Tentu kehendak Tuhan bukan begitu. Kehendak Tuhan tentu harus sesuai dengan Quran dan Sunnah.

Tapi dipikir-pikir, benar juga ide nakalnya. Ngapain kita buang-buang tenaga ribut urusan demokrasi, pilkada, pemilu, bikin partai ini dan itu. Toh rata-rata kualitas kepemimpinan mereka semua sama saja, tidak pernah bisa membuat rakyat sejahtera juga. Yang pakai jargon Islam, sekuluer, setengah Islam setengah sekuler, ujung-ujungnya setali tiga uang. Sama-sama tukang bohong dan sama-sama mulutnya bau.

So, ngapain susah-susah dan mahal-mahal?

Mending semua biaya itu untuk mensejahterakan rakyat. Jadi kita ganti saja sistem demokrasi, pilkada atau pemilu dengan : hom . . pim . . paaa.

Ust. Sarwat. Lc
Tags:

About author

Curabitur at est vel odio aliquam fermentum in vel tortor. Aliquam eget laoreet metus. Quisque auctor dolor fermentum nisi imperdiet vel placerat purus convallis.

0 komentar

Leave a Reply